Tentang Brainwashing di Dunia Medis, Seperti Apa Sih?


Anda mungkin sudah cukup familiar dengan istilah brainwashing. Zaman dahulu, brainwashing atau cuci otak erat kaitannya dengan upaya mempengaruhi pemikiran atau ideologi seseorang. Aktivitas tersebut banyak dilakukan oleh kelompok orang dengan kepentingan tertentu. Akan tetapi, dewasa ini, istilah brainwashing yang dikenal masyarakat mulai merambah pada dunia medis.

Tentu Anda sudah tidak asing lagi dengan salah satu upaya pengobatan stroke dengan metode cuci otak. Terapi tersebut di Indonesia pertama kali dipopulerkan oleh salah seorang dokter yang cukup dikenal di Indonesia. Hal ini mengakibatkan banyak orang mulai menginginkan terapi ini untuk mengobati dirinya, sanak saudara, maupun kenalan mereka.

Menurut testimoni sebagian orang, brainwashing memang cukup efektif sebagai terapi. Akan tetapi, sudahkah Anda mempelajari lebih dalam mengenai apa itu brainwashing, untuk apa indikasinya, serta bagaimana dampaknya bagi tubuh? Berikut akan kami berikan sedikit penjelasan mengenai metode yang cukup terkenal ini.

Apa itu sebenarnya brainwashing?

ilustrasi DSE
Sumber gambar

Brainwashing atau cuci otak, dalam dunia medis lebih dikenal sebagai DSA (Digital Subtraction Angiography). DSA adalah teknik fluoroskopi yang banyak digunakan dalam kedokteran intervensi radiologi, sebagai upaya untuk memvisualisasikan pembuluh darah. Secara awam, teknik ini mirip seperti proses pencitraan pada CT scan dan MRI (Magnetic Resonance Imaging), namun khusus melihat pembuluh darah.

DSA bekerja dengan menggunakan kontras, yaitu cairan berupa zat radioaktif yang dimasukkan ke dalam pembuluh darah. Dalam ilmu radiologi, kontras ini sering digunakan dalam berbagai pemeriksaan untuk melihat struktur tertentu, seperti pembuluh darah. Kontras bekerja dengan memberikan warna mencolok sehingga kita bisa melihat dengan jelas sebuah struktur yang awalnya hanya berwarna samar. Kontras juga memiliki efek masking, yaitu menutup struktur lain sehingga kita hanya melihat struktur yang diinginkan.

Lalu mengapa dewasa ini, DSA justru lebih sering dikenal dengan istilah brainwashing? Karena untuk pembuluh darah otak, dokter akan memasukkan cairan kontras tersebut ke otak. Hal tersebut terkesan seperti ‘mencuci’ otak, meski sebenarnya bukan demikian.

Indikasi dan kontraindikasi brainwashing

ilustrasi Indikasi dan kontraindikasi brainwashing
Sumber gambar

Brainwashing atau DSA memang utamanya digunakan sebagai alat bantu untuk menegakkan diagnosis, bukan sebagai terapi. Akan tetapi, jika dilihat dari cara kerjanya, DSA juga bisa digunakan sebagai modalitas terapi beberapa penyakit, atau juga dikenal sebagai intervensi radiologi. Berikut beberapa kondisi yang mungkin saja memerlukan intervensi radiologi dengan modalitas DSA:

  1. Perbaikan aneurisma endovaskuler
  2. Angioplasti balon arteri
  3. Stenting arteri
  4. Embolisasi endovaskuler
  5. Trombektomi

Setiap jenis tindakan, termasuk dalam intervensi radiologi, tentu terdapat indikasi dan kontraindikasi. Kontraindikasi ini harus sangat diperhatikan karena tak hanya mempengaruhi efektivitas, ia juga dapat memberikan beberapa efek yang tidak diinginkan.

Tindakan DSA tidak boleh dilakukan pada pasien dengan kelainan ginjal dan hipersensitivitas (alergi) terhadap komponen penyusun kontras. Kontras merupakan radioaktif yang harus dikeluarkan melalui ginjal setelah tindakan selesai. Oleh karena itu, pasien dengan kelainan ginjal tidak akan bisa mengeluarkan kontras dengan baik, bahkan bisa saja memperparah kerusakan ginjal yang sudah ada. Sementara itu, reaksi hipersensitivitas atau alergi pada obat adalah suatu hal yang sebisa mungkin tidak dilanggar karena bisa berdampak sangat buruk bagi tubuh.

Bahaya Brainwashing

ilustrasi Bahaya Brainwashing
Sumber gambar

Anda tentu tahu bahwa metode brainwashing sebagai terapi stroke merupakan suatu hal yang kontroversial. Salah satu yang membuatnya kontroversial adalah bahaya brainwashing. Belakangan, metode ini digunakan untuk mengobati stroke yang terjadi karena penyumbatan bekuan darah dengan cara menyemprotkan heparin (pengencer darah) ke pembuluh darah otak.

Beberapa ahli berpendapat bahwa hal ini sangat berisiko. Pertama, dalam dosis tinggi, pengencer darah tersebut justru bisa mengakibatkan perdarahan di otak. Sementara itu, perdarahan otak sendiri merupakan salah satu jenis stroke yang cenderung bersifat lebih berbahaya daripada stroke penyumbatan. Perdarahan otak merupakan suatu kondisi gawat darurat mengancam nyawa yang memerlukan intervensi, biasanya operasi, dalam waktu cepat.

Kedua, dalam dosis rendah, heparin tidak terbukti mampu meluluhkan bekuan darah pada orang yang telah mengalami stroke selama berbulan-bulan. Sedangkan, pada orang yang baru beberapa jam mengalami penyumbatan, dokter biasanya akan memasukkan agen trombolitik yang sudah sejak lama terbukti manfaatnya dalam dunia medis. Dalam hal ini daripada berbahaya, DSA mungkin cenderung tidak memberikan efektivitas yang ampuh.

Melalui penjelasan tersebut, tentu kini Anda telah lebih paham mengenai brainwashing atau DSA. Meskipun memiliki beberapa indikasi sebagai terapi, namun umumnya DSA digunakan sebagai alat penegakkan diagnosis. Penggunaannya sebagai terapi stroke pun masih banyak dipertanyakan karena risiko yang dimiliki.

BACA JUGA: Pengertian Psikolog dan Perannya pada Kesehatan Mental

Seorang dokter tentu lebih memilih terapi yang paling sedikit menimbulkan risiko bagi pasiennya. Dalam prinsip kedokteran, hal itu dikenal sebagai non maleficence dan beneficence, di mana sesuatu yang tidak membahayakan menempati prioritas yang lebih utama dibandingkan sesuatu yang menguntungkan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *