Ini Bahaya Omicron bagi yang Belum Vaksin Menurut Epidemiolog


Meski menjadi varian yang fatality ratenya tergolong ringan, perlu kita ketahui bahaya Omicron. Ada beberapa yang termasuk dalam golongan rentan risiko, seperti lansia, ibu hamil, orang dengan penyakit bawaan, serta mereka yang belum mendapatkan vaksin. 

Beberapa orang memang belum mendapatkan vaksin karena kondisi tubuh yang belum memungkinkan. Di antaranya ada penyakit bawaan atau kondisi tubuh seperti tekanan darah tinggi atau gula darah tinggi. Namun, bagi mereka yang sehat dan mampu vaksin, sebaiknya menyegerakan. 

Menurut Epidemiolog dan WHO, ada bahaya yang perlu menjadi kewaspadaan masyarakat yang belum melakukan vaksin. Hal ini dengan mempelajari kasus-kasus di negara lain yang saat mengalami lonjakan kasus, lebih dari 50% warganya belum mendapatkan vaksin. 

Memang kita tidak mungkir bahwa saat ini ada banyak sudut pandang yang membuat vaksinasi Covid-19 tidak berjalan lancar. Bukan hanya pada masa ini, beberapa vaksin untuk penyakit lainnya juga sempat mengalami pro dan kontra. Nah, agar tidak simpang siur, kita bisa mencoba untuk menyimak penjelasan berikut. 

Bahaya Omicron mengintai negara yang vaksinasinya rendah

Tedros - Ketua WHO tentang bahaya Omicron
[Sumber gambar]
Tedros Adhanom Ghebreyesus, selaku kepala WHO memaparkan bahwa Omicron lebih bahaya kepada mereka yang belum vaksin. Tedros menyatakan bahwa sebagian besar pasien seluruh dunia yang rawat inap di rumah sakit adalah mereka yang belum vaksin. 

Sementara itu, Prof. Mark Woolhouse dari Edinburgh, dan mendapat dukungan dari Prof. Lawrence Young dari Warwick, mengingatkan warga tidak boleh lengah. Menurut Mark, Omicron ternyata bukan dari pohon keluarga yang sama dengan Delta. Keduanya juga melihat bahwa publik menganggap mutasi ini berjalan linier dari Alpha, Beta, Delta dan Omicron. Padahal kondisinya tidak sesederhana itu. 

Di masa mendatang, berpotensi ada varian lain yang bisa jauh lebih berbahaya. Hal ini seperti lansiran dari Guardian, di mana keduanya menanggapi sikap Inggris yang sudah mencabut pembatasan masyarakatnya. 

Bahaya Omicron menurut epidemiolog

Penjelasan di atas juga senada dengan penjelasan pakar epidemi dari Griffith, Dicky Budiman. Sejak melihat perilaku masyarakat yang semakin longgar dan seperti menganggap Corona sudah melemah dengan adanya Omicron, ia meluruskan bahwa Omicron dan Delta adalah dua situasi yang berbeda. 

Omicron muncul dalam kondisi banyak warga yang sudah mengambil jatah vaksin mereka. Sementara varian Delta hadir ketika vaksin belum menyeluruh seperti sekarang. Sebagai gambaran, ia memaparkan keadaan negara yang imunitas dan vaksinnya kurang, malah cukup kesulitan menghadapi Omicron ini. 

Misalnya di Australia, yang menurut catatan Bloomberg, Indonesia lebih unggul hadapi Omicron daripada di sana. Dicky menjelaskan bahwa sebulan sebelum Omicron, angka BOR (bed occupancy rate di sana hampir tidak ada. Namun, kini hampir setiap hari selalu ada rawat inap. Angka kematian yang tadinya terakumulasi dalam dua tahun, kini bisa terjadi dalam hitungan hari. 

Di Eropa dan Amerika, Omicron bisa menjangkiti orang lansia atau anak-anak yang belum vaksin, serta orang yang sedang menunggu vaksin kedua mereka dalam rentang 6 bulan. Jadi, sampai di sini sudah cukup menjelaskan urgensi dari menyegerakan vaksin bila kondisi kita memungkinkan. 

Bukan varian penutup, sudah ada varian lain yang jadi fokus penelitian

Sejak Bill Gates memperkirakan bahwa setelah Omicron maka Covid akan menjadi seperti flu musiman, muncul anggapan kalau varian ini akan menjadi pamungkas. Namun kabar terbaru dari WHO menyatakan bahwa, kini sudah ada subvarian BA.2 dari ‘keturunan’ Omicron yang penularannya lebih kuat. Saat ini varian tersebut masih dalam pendalaman dan penelitian. 

Fase Omicron memang sempat adem-adem saja, akan tetapi epidemiolog dalam dan luar negeri, semua satu suara dalam mengingatkan bahwa setiap varian ini akan tetap memiliki risiko fatal pada mereka yang belum vaksin, lansia, dan pemilik sakit bawaan. 

Kabar simpang siur tentang vaksin

Ilustrasi menerima vaksin
[Sumber gambar]
Vaksin di Indonesia dan beberapa negara lainnya, termasuk Amerika Serikat, memang menuai pro dan kontra. Meski bukan pertama kalinya masyarakat dunia berdebat karena vaksin sepanjang sejarah keilmuan, namun kali ini situasinya berlomba-lomba dengan angka kematian yang sempat melejit. 

Kabar mengenai adanya microchip dalam vaksin atau pemberian vaksin yang malah membuat sakit dan menyebabkan kematian merupakan yang paling marak. Narasi di berbagai media dan tersebar melalui grup chat, akhirnya melahirkan keengganan untuk vaksin. 

Pada bulan Januari 2022, Indonesia sudah mencapai angka 166 juta sasaran vaksin, dan masih akan terus bertambah. Komnas KIPI telah menyatakan bahwa tidak ada peserta vaksin yang meninggal dunia karena vaksin. Beberapa kasus kematian yang muncul, telah mendapat klarifikasi berupa adanya penyakit bawaan atau kondisi penyakit lainnya, seperti demam berdarah. Kondisi ini dinamakan KIPI koinsiden. 

KIPI koinsiden bisa terjadi bila tubuh memang sudah memiliki keadaan dasar yang tidak sehat, meski bukan penyakit bawaan. Misalnya pada kasus kematian anak di Sumatera Utara beberapa waktu lalu setelah vaksin, mendatangkan 4 dokter untuk menelaah. Berdasarkan pemeriksaan, ada tanda bintik merah di lengan yang ternyata akibat kondisi DBD. 

Vaksin mencegah risiko terpapar dan kematian

Pemberian vaksin memang bisa menyebabkan beberapa reaksi yang normal, layaknya tubuh ketika melawan penyakit. Seperti demam, nyeri otot, lapar, atau bahkan tak ada reaksi yang berarti. Karena pada dasarnya, vaksin ibarat ‘latihan’ bagi imunitas kita untuk mengenali pergerakan virus. 

Meski tidak 100% mencegah paparan virus, namun membuat gejalanya jauh lebih ringan. 

Bagi beberapa golongan yang rentan namun masih bisa menerima vaksin, dapat terhindar dari risiko yang lebih fatal, seperti gejala yang berat dan kematian. 

GSI mengajak untuk berbagi di tengah dampak pandemi

Menyadari efek pandemi yang memukul perekonomian dan finansial, namun juga mengharuskan masyarakat menjaga kesehatan, GSI Lab mengajak kita semua dalam program berbagi. Yakni meringankan beban saudara kita yang kesulitan mendapatkan fasilitas swab PCR untuk memastikan kondisi saat bergejala. Gerakan baik ini bisa kita simak lebih lengkapnya di sini. Nantinya seluruh bantuan akan teralokasi untuk program swab gratis bagi mereka yang membutuhkan. 

BACA JUGA: 4 Gejala Omicron Pada Orang Dewasa yang Patut Diwaspadai

Edukasi untuk melakukan vaksinasi tak hentinya bergema. Hal ini untuk menuju kepada pemulihan bangsa yang lebih baik. Karena pandemi yang sudah masuk tahun ketiga ini, apabila muncul gelombang-gelombang baru, juga akan memberi dampak kepada seluruh masyarakat. Jangan lewatkan kesempatan untuk vaksin, demi kesehatan dan keselamatan bersama.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *