Kenali Dampak COVID 19 pada Penyakit Jantung: Sebuah Studi Kasus


Pandemi COVID 19 memiliki dampak sangat besar bagi sektor kesehatan di Indonesia. Virus ini diketahui juga meningkatkan mortalitas pada berbagai penyakit. Seperti yang Anda ketahui, penderita COVID 19 dengan komorbid lebih rentan mengalami komplikasi penyakit. Bahkan penderita yang tidak memiliki komorbid pun bisa terdampak efek jangka panjang dari virus tersebut.

Salah satu penyakit yang harus dijaga adalah kelainan jantung. Ternyata COVID 19 memiliki efek yang cukup berat bagi para penderita penyakit jantung. Berikut adalah sebuah contoh studi kasus mengenai penderita myxoma (salah satu tumor jantung) yang tertular COVID 19 selama masa perawatan.

Apa itu myxoma?

ilustrasi electrocardiogram
Sumber gambar

Primary Cardiac Tumors (PCT) merupakan tumor yang murni berasal dari jantung, bukan metastase (penyebaran) dari organ lain. Kejadian PCT sangat jarang ditemukan, hanya 0.3-0.7% dari keseluruhan jenis tumor pada organ jantung. Sebagian besar PCT merupakan tumor jinak, termasuk myxoma. Myxoma sendiri merupakan jenis tumor jinak yang paling sering ditemukan.

Myxoma terjadi secara dominan pada perempuan paruh baya atau yang masih berada di usia reproduktif. Seperti apa gejala klinis dari tumor ini? Gejala myxoma sangat beragam, tergantung lokasi tumor, bisa di jantung sebelah kanan atau kiri, bagian serambi maupun bilik.

Akan tetapi, secara umum penderita myxoma akan mengalami 3 hal. Pertama adalah ketidakstabilan hemodinamik, misal tekanan darah dan nadi tidak normal. Kedua adanya tanda embolisme (sumbatan pada pembuluh darah), seperti stroke iskemik. Serta gejala ketiga adalah gejala konstitusional, seperti kelelahan dan penurunan berat badan.

Pemeriksaan baku emas untuk menegakkan diagnosis myxoma adalah melalui histologi jaringan. Akan tetapi karena invasif, maka lebih banyak dilakukan CT scan, TEE (Transesophageal Electrocardiography), dan TTE (Transthoracic Electrocardiography). Pemeriksaan tersebut dikatakan telah cukup sensitif untuk menegakkan diagnosis. Lagipula, di era pandemi ini, pemeriksaan tersebut lebih ramah dan memiliki risiko penularan lebih rendah.

Dampak COVID 19 pada penderita myxoma

ilustrasi operasi jantung
Sumber gambar

Artikel kali ini akan membahas satu kasus yang disadur dari sebuah penelitian, yang bisa Anda baca selengkapnya di sini. Pada kasus tersebut, perempuan berusia 36 tahun datang dengan keluhan nyeri dada tidak spesifik, terasa seperti tersayat, sesak napas, dan terdapat riwayat stroke. Tanda vital menunjukkan abnormalitas, seperti tekanan darah rendah dan nadi sangat cepat.

Hasil foto thorax pun menunjukkan paru-paru yang bengkak dan penuh cairan. Dapat dilihat bahwa pasien datang dalam keadaan tidak stabil. Pasien telah menunjukkan tanda-tanda dari kegagalan jantung kongestif. Meskipun demikian, sebenarnya prognosis atau harapan hidup dari pasien tersebut masih sangat baik bila segera dilakukan operasi.

Singkat cerita, pasien tersebut lalu terdiagnosis myxoma melalui berbagai pemeriksaan. Pasien kemudian direncanakan operasi secepatnya. Jika melihat tatalaksana penanganan myxoma, sebenarnya hal itu cukup mudah. Operasi sederhana pengangkatan tumor dikatakan mampu mengembalikan kondisi pasien dengan efek samping ringan dan tingkat kekambuhan yang rendah.

Penundaan tindakan dan hiperkoagulopati

Akan tetapi, pada hari ketujuh pasien terserang COVID 19. Fakta tersebut membuat rencana operasi harus tertunda cukup lama. Selama 22 hari pasien mengalami pemulihan di ruang isolasi. Operasi tidak dapat dipaksakan untuk tetap dilakukan. Hal itu karena jika pasien COVID 19 menjalani operasi jantung, kemungkinan tingkat mortalitas akan semakin tinggi.

Pada hari ke-22, pasien mulai menunjukkan perburukan status mental, seperti disorientasi dan tidak bisa berbicara dengan baik. Hal ini diyakini terjadi karena penyumbatan darah di otak yang merupakan efek samping dari COVID 19. Penderita COVID 19 memang dikatakan lebih rentan mengalami efek samping hiperkoagulopati (penggumpalan darah), termasuk pada organ otak.

Komplikasi pada saat pembedahan

Setelah 22 hari dan dinyatakan pulih sepenuhnya, pasien baru dilakukan tindakan operasi. Pada saat pemberian anestesi sebelum memulai pembedahan, terjadi perburukan kondisi. Tekanan darah, laju napas, dan nadi pasien menjadi tidak normal. Pertolongan pertama pun harus segera dilakukan.

Begitu pula ketika memulai pembedahan, pasien mengalami henti jantung. Seluruh komplikasi tersebut ditengarai merupakan akibat penundaan pembedahan yang terlalu lama. Untungnya, komplikasi tersebut dapat ditangani sehingga pasien berhasil diselamatkan. Pasien lalu menjalani masa pemulihan pasca operasi dengan baik setelah bebas dari COVID 19.

Nah, melalui cerita kasus di atas, Anda tentu menyadari betapa besar dan bahaya dampak COVID 19 bagi kesehatan. Bagi tenaga medis, pengambilan keputusan pada pasien COVID 19 bagai pedang bermata dua. Tidak dilakukan tindakan akan memperparah penyakit dasar, namun bila dipaksakan bisa berakibat fatal.

Saat ini dunia masih memerlukan banyak penelitian untuk mencari cara yang tepat dalam mengendalikan pandemi. Apabila Anda telah berkecimpung di dunia riset dan ingin melakukan penelitian, segera lakukan kolaborasi di sini. Satu penelitian saja dapat membawa dampak besar bagi roda kehidupan seorang manusia, negara, hingga dunia.

Sumber:

  1. https://f1000research.com/articles/11-986

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *